Selasa, 22 Mei 2018

DAMPAK PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Teknologi terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan teknologi dapat diartikan ke dalam dua bentuk yaitu penemuan dan inovasi. Penemuan lebih diartikan sebagai temuan atau gagasan baru, sedangkan inovasi merupakan implementasi atau penerapan dari gagasan tersebut. Bentuk perkembangan teknologi dapat berupa peningkatan produktivitas tenaga kerja, peningkatan produktivitas kapital, maupun peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Bentuk lain dari perkembangan teknologi berupa kebijakan yang lebih baik, manajemen yang lebih baik, kelembagaan yang lebih baik, dan lain sebagainya di luar kontribusi dari tenaga kerja maupun kontribusi kapital. Pertumbuhan ekonomi bersumber pada dua unsur utama, yaitu tenaga kerja dan kapital. Penggunaan input yang lebih banyak seperti penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak ataupun kapital yang lebih banyak akan menghasilkan output yang lebih banyak. Dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi dimungkinkan dihasilkan oleh kemajuan dalam pengetahuan atau teknologi. Kemudian muncul ide dasar untuk memisahkan dua sumber pertumbuhan adalah untuk menemukan berapa banyak pertumbuhan karena input dan berapa banyak untuk peningkatan efisiensi. Menurut Pasay (1991), pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan dari berbagai faktor produksi tradisional, misalnya kapital dan tenaga kerja, tetapi juga oleh kemajuan yang berhasil diraih karena teknologi kian berkembang dari masa ke masa. Perkembangan teknologi tersebut merupakan bagian dari pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat diterangkan oleh masingmasing input. Perkembangan teknologi ini tidak lain merupakan residu dari pertumbuhan ekonomi yang ternyata justru mempunyai peranan yang tidak kecil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempertahankannya lebih lanjut di masa yang akan datang. Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa kemajuan teknologi merupakan faktor ketiga penentu pertumbuhan ekonomi setelah kapital dan tenaga kerja. Teknologi berpengaruh terhadap tingkat output suatu kegiatan produksi. Produksi domestik merupakan total output semua kegiatan produksi. Maka teknologi berpengaruh terhadap total produksi domestik. Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi domestik (pertumbuhan ekonomi). Betapa pentingnya kemajuan teknologi telah ditunjukkan oleh pengalaman sejarah negara-negara yang sekarang tergolong ke dalam kelompok negara-negara maju, seperti Italia, Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Jepang , bahkan Korea. Hasil studi empiris Hall dan Jones (1999) dalam Romer (2006) menyebutkan bahwa lima negara terkaya memiliki teknologi 12.18 kali lipat dibandingkan dengan lima negara termiskin. Selain itu juga, lima negara terkaya mengahsilkan output/tenaga kerja yang jauh lebih besar yaitu 31.70 kali lipat dibandingkan dengan lima negara termiskin. Perkembangan teknologi memiliki beberapa dimensi, antara lain: jumlah output yang lebih besar, produk yang lebih baik/unggul, produk-produk baru, dan variasi produk yang lebih banyak. Adanya perkembangan teknologi akan 2 meningkatkan produktivitas yang kemudian juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan sejumlah kapital dan tenaga kerja tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat memerlukan tenaga kerja tambahan sebagai faktor produksi untuk memenuhi permintaan agregat yang meningkat. Akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada suatu metoda atau ukuran yang secara akurat dapat menentukan besaran perkembangan teknologi sebagai sebuah variabel yang berdiri sendiri. Metoda-metoda penghitungan yang banyak digunakan diberbagai negara adalah menjadikan teknologi sebagai variabel residual. Salah satu metoda untuk menghitung besarnya peranan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah dengan pendekatan Total Factor Productivity (TFP), dimana TFP diidentikkan dengan besaran kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi di luar sumbangan dua endogenous variabel yaitu tenaga kerja dan kapital. Selama kurun waktu tiga puluh tiga tahun terakhir yaitu dari Tahun 1980 sampai dengan tahun 2012, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar berlaku terus mengalami peningkatan. PDB Indonesia atas dasar berlaku tercatat sebesar Rp 1 389.77 Triliun pada Tahun 2000 meningkat menjadi Rp 8 243.05 Triliun di tahun 2012, sedangkan menurut harga konstan 2000, PDB Indonesia telah bertambah menjadi Rp. 2 617.24 Triliun dalam periode waktu yang sama. Kinerja ekonomi yang dicapai cukup tinggi dari tahun ke tahun ini kemudian memunculkan pertanyaan berapa besar kontribusi dari adanya kemajuan teknologi, atau memang karena adanya pertumbuhan faktor input yaitu tenaga kerja dan kapital.Suatu hal yang menjadi kekhawatiran adanya perkembangan teknologi adalah meningkatnya tingkat pengangguran. Memang belum ada teori yang menjelaskan mengapa perkembangan teknologi dalam hal ini pertumbuhan TFP berdampak pada tingkat pengangguran. Ball dan Moffitt (2002) dalam Pissarides dan Vallanti (2007) mengasumsikan bahwa pekerja melakukan penyesuaian 0 2 500 5 000 7 500 10 000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 PDB (Triliun Rp) PDB atas dasar harga berlaku PDB atas dasar harga konstan 2000 Resesi & Oil Crisis Deregulasi & Debirokratisasi Krisis Multidimensi Kebangkitan Ekonomi Krisis Keuangan Eropa 3 perubahan pertumbuhan produktivitas dalam jangka waktu yang lama, sehingga ketika pertumbuhan TFP berubah juga akan merubah rasio dari upah terhadap produktivitas. Demikian juga Phelps (1994) dalam Pissarides dan Vallanti (2006) mengasumsikan bahwa supply dari tenaga kerja tergantung pada rasio income dari human kapital terhadap nonhuman kapital dalam jangka panjang. Kedua penjelasan tersebut menerangkan bahwa pertumbuhan produktivitas berdampak negatif terhadap tingkat pengangguran. Sebaliknya pada sisi demand tenaga kerja, ketika terdapat teknologi baru maka perusahaan akan melakukan penyesuaian terhadap tenaga kerja yang ada dengan tetap mempertahankan tenaga kerja yang lama atau justru akan mengurangi jumlah tenaga kerja. Pada akhirnya meningkatnya pertumbuhan produktivitas berdampak pada meningkatnya demand tenaga kerja dan secara permanen menurunkan tingkat pengangguran karena efek kapitalisasi (Pissarides dan Vallanti, 2006). Hampir semua jenis hasil perubahan teknologi dapat meningkatkan permintaan tenaga kerja di beberapa pasar tenaga kerja dan menurunkan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja lainnya. Pengenalan metode produksi lini perakitan dan produksi bagian dipertukarkan menghasilkan peningkatan substansial dalam produktivitas tenaga kerja. Inovasi teknologi ini juga mengakibatkan peningkatan permintaan untuk pekerja tidak terampil dan penurunan permintaan untuk pengrajin terampil. Pengenalan proses manufaktur otomatis, di sisi lain, telah mengakibatkan penurunan permintaan terhadap tenaga kerja terampil dan peningkatan permintaan untuk kontrol kualitas teknisi dan programmer komputer. Secara umum, perubahan teknologi akan mengubah komposisi permintaan tenaga kerja, meningkatkan permintaan untuk beberapa jenis tenaga kerja dan mengurangi permintaan untuk jenis lain tenaga kerja. Mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari perubahan teknologi yang mengurangi permintaan untuk kategori tenaga kerja dikatakan pengangguran struktural. Kinerja perekonomian dinilai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengangguran serta kemiskinan yang rendah. Teknologi merupakan katalisator yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Teknologi juga berdampak besar terhadap kesejahteraan karena menurunkan pengangguran serta kemiskinan suatu negara. Namun demikian, teknologi juga memiliki dilema dimana selain dapat menurunkan pengangguran, teknologi juga dapat meningkatkan pengangguran jika tidak disertai dengan skill dan sumber daya manusia yang berkualitas. Perkembangan teknologi tidak selamanya akan berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan. Penduduk yang tidak memiliki skills yang cukup dalam menyerap teknologi akan tersingkir dari pasar tenaga kerja sehingga kemiskinan akan semakin parah.

PEMBAHASAN
Analisis Perkembangan Teknologi di Indonesia Tahun 1981-2012 Salah satu ukuran “perkembangan teknologi” yang dipakai oleh sebagian besar negara di dunia adalah total factor productivity (TFP). Pendekatan TFP berasal dari teori pertumbuhan ekonomi yang mengasumsikan bahwa total hasil produksi dipengaruhi oleh sejumlah modal (kapital), tenaga kerja, dan teknologi yang digunakan. Kenaikan TFP mencerminkan perbaikan efisiensi penggunaan faktor input atau perbaikan nilai tambah dalam produksi (termasuk di dalamnya akibat inovasi, proses difusi, dan pembelajaran yang membawa kepada penggunaan teknologi secara lebih efisien) dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi (yang diukur 33 dengan pertumbuhan produksi) dipengaruhi oleh pertumbuhan modal, pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan (perkembangan) teknologi atau pengetahuan dalam arti luas. Perkembangan teknologi tersebut kemudian dihitung sebagai selisih antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan modal dan pertumbuhan tenaga kerja. Perkembangan teknologi dalam penelitian ini didekati dengan pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP). Penjumlahan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kapital apabila sama dengan pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan TFP bernilai nol. Hal ini berarti tidak terdapat ruang bagi kemajuan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Jika penjumlahan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kapital lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan TFP bernilai positif. Hal ini berarti terdapat ruang bagi perkembangan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Bentuk perkembangan teknologi dapat berupa peningkatan produktivitas tenaga kerja, peningkatan produktivitas kapital, maupun peningkatan produktivitas secara keseluruhan. Bentuk lain dari perkembangan teknologi berupa kebijakan yang lebih baik, manajemen yang lebih baik, kelembagaan yang lebih baik, dan lain sebagainya di luar kontribusi dari tenaga kerja maupun kontribusi kapital. Hasil estimasi perkembangan teknologi di Indonesia tahun 1981-2012 dapat dilihat pada gambar 10. Dari gambar tersebut dekomposisi pertumbuhan ekonomi dapat diuraikan menjadi pertumbuhan tenaga kerja, pertumbuhan kapital, dan perkembangan teknologi. Pertumbuhan atau kemajuan teknologi berfluktuasi setiap tahunnya. Perkembangan teknologi pada tahun 2010, 2011, dan 2012 menunjukkan nilai negatif, yaitu sebesar -0.98 persen di tahun 2010, tahun 2011 sebesar -0.69 persen, dan tahun 2012 sebesar -1.54 persen. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa pada tahun-tahun tersebut perkembangan teknologi justru mereduksi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya terjadi.
Selama rentang waktu tahun 1981-2012, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sebesar 5.42 persen, yang terdiri dari pertumbuhan tenaga kerja sebesar 1.08 persen, partumbuhan kapital 3.46 persen, perkembangan teknologi sebesar 0.87 persen. Tingginya laju rata-rata pertumbuhan kapital memperlihatkan bahwa di Indonesia perkembangan teknologi lebih bersifat hemat tenaga kerja. Perkembangan teknologi yang bersifat hemat modal adalah sangat jarang terjadi, karena hampir semua penelitian ilmiah dan perkembangan teknologi yang dilakukan di negara maju dan berkembang adalah bertujuan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modal. Perkembangan teknologi merupakan faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuk yang sangat sederhana, perkembangan teknologi disebabkan oleh cara-cara baru dan cara-cara yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional seperti cara menanam padi, membuat pakaian atau membangun rumah. Ada tiga macam klasifikasi dari perkembangan teknologi yaitu : netral, hemat tenaga kerja (labour saving), dan hemat modal (capital saving). Perkembangan teknologi yang bersifat netral terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi faktor-faktor input yang sama. Inovasi-inovasi yang timbul dari pembagian kerja bisa menghasilkan tingkat output total yang lebih tinggi dan konsumsi yang lebih banyak untuk semua orang. Dalam hubungannya dengan analisa kemungkinan produksi, perkembangan teknologi yang bersifat netral adalah penduakalian output total adalah sama dengan menduakalikan semua input produktif. Dari sisi lain, perkembangan teknologi bersifat hemat tenaga kerja atau hemat modal, yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan kuantitas tenaga kerja atau input modal yang sama. Penggunaan komputer, traktor, dan teknologi lainnya bisa diklasifisikasikan sebagai hemat tenaga kerja. Pada fase resesi ekonomi dan krisis minyak, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5.75 persen dengan dekomposisi pertumbuhan tenaga 35 kerja 2.53 persen, pertumbuhan kapital 2.21 persen, dan perkembangan teknologi 1,01 persen. Fase berikutnya, fase deregulasi dan debirokratisasi, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai angka 8.13 persen dengan dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja 0.87 persen, pertumbuhan kapital 6.53 persen, dan perkembangan teknologi 0.74 persen. Pada fase deregulasi dan debirokratisasi perkembangan teknologi lebih bersifat padat modal. Rata-rata pertumbuhan ekonomi fase krisis multidimensi hanya sebesar 0.19 persen dengan dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja 0.56 persen, perkembangan teknologi 3.70 persen, sedangkan pertumbuhan kapital mengalami perlambatan sebesar 4.08 persen. Pada fase ini, dengan melambatnya pertumbuhan kapital, peran perkembangan teknologi terbukti mampu dalam memacu pertumbuhan ekonomi sehingga perekonomian masih tetap dapat tumbuh di tengah adanya krisis yang melanda. Perkembangan teknologi yang tinggi juga dimungkinkan sebagai dampak dari proses industrialisasi yang berorientasi pada penguatan industri dan teknologi dalam negeri. Periode tahun 2002-2007, fase kebangkitan ekonomi, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5.31 persen dengan dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja 0.43 persen, pertumbuhan kapital 4.81 persen, dan perkembangan teknologi sebesar 0.07 persen. Fase berikutnya, fase krisis keuangan Eropa, perkembangan teknologi menunjukkan adanya perlambatan, dimana pertumbuhannya melambat 1 persen, sedangkan pertumbuhan kapital melonjak menjadi sebesar 6.50 persen. Pertumbuhan tenaga kerja pada fase ini masih yang terendah, yaitu sebesar 0.41 persen. Perkembangan teknologi yang negatif pada fase krisis keuangan eropa menunjukkan bahwa pada fase tersebut perkembangan teknologi justru mereduksi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya terjadi. Penyajian lain dari dekomposisi pertumbuhan ekonomi adalah dengan menghitung kontribusi masing-masing komponen terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi masing-masing komponen terhadap pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan menganggap pertumbuhan ekonomi adalah 100 persen. Selama periode tahun 1981-2012, perkembangan teknologi memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu 30.48 persen (Tabel 5). Perkembangan teknologi menempati urutan kedua penyumbang pertumbuhan ekonomi di Indonesia setelah pertumbuhan kapital yang memberikan kontribusi 56.10 persen. Pertumbuhan tenaga kerja hanya memberikan kontribusi sebesar 13.42 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi cukup signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1981-2012. Perlu menjadi perhatian adalah rata-rata kontribusi dari pertumbuhan tenaga kerja memberikan kontribusi terendah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini bisa menyiratkan bahwa pertumbuhan tenaga kerja kurang memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Kemungkinan terbesar yang menyebabkan hal tersebut adalah karena pertumbuhan tenaga kerja yang terjadi berada pada sektor-sektor yang tidak mempunyai daya ungkit yang besar kepada pertumbuhan ekonomi. Contohnya adalah sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian. Kedua sektor tersebut banyak menyerap dan menggunakan tenaga kerja, akan tetapi laju pertumbuhan sektor tersebut merupakan yang terendah dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Rata-rata kontribusi pertumbuhan kapital terhadap pertumbuhan ekonomi di setiap periode menunjukkan peran yang berarti. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kapital mempunyai kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi. Seiring dengan laju pertumbuhan kapital yang tinggi (lihat tabel 4), kontribusi pertumbuhan kapital yang tinggi juga menunjukkan bahwa perkembangan teknologi di Indonesia lebih bersifat kapital intensif atau menghemat tenaga kerja. Dengan demikian, pertumbuhan kapital yang masuk ke dalam selama periode 1981-2012 mempunyai kemampuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Bila dikaitkan dengan sektor ekonomi, pertumbuhan kapital ini banyak masuk ke sektor industri pengolahan yang membutuhkan kapital yang besar. Kontribusi sektor industri pengolahan cukup besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensi sifat perkembangan teknologi yang tidak netral, maka faktor perkembangan teknologi cenderung bias pada salah satu penggunaan input, yaitu dapat bias pada penggunaan tenaga kerja (labor intensive) atau dapat bias pada penggunaan kapital (capital intensive). Adanya indikasi bahwa perkembangan teknologi bias pada penggunaan kapital, laju pertumbuhan kapital tinggi dan kontribusi kapital terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lihat tabel 4 dan 5), menunjukkan bahwa penggunaan kapital akan lebih produktif dibandingkan tenaga kerja. Tenaga kerja akan cenderung berkurang apabila dilakukan mekanisasi akibat penggunaan teknologi baru. Sebagai contoh sektor industri, pemotongan kertas secara mekanis, pemasangan komponen menggunakan robot, pengantongan rokok secara mekanis, dan pengalengan hasil produk kimia secara otomatis; akan menggantikan fungsi tenaga kerja. Pembagian berdasarkan fase ekonomi menunjukkan bahwa kontribusi masing-masing pertumbuhan bervariasi. Pada fase resesi ekonomi dan krisis 37 minyak kontribusi dari ketiga pertumbuhan baik tenaga kerja, kapital, maupun perkembangan teknologi memberikan kontribusi yang hampir berimbang. Di fasefase berikutnya, struktur mulai berubah, pertumbuhan kapital menunjukkan dominasinya dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi yang cukup stabil diperlihatkan oleh perkembangan teknologi, yang lebih dominan dibandingkan kontribusi tenaga kerja. Pada fase krisis resesi ekonomi (1981-1988) terlihat bahwa kontribusi perkembangan teknologi sebesar 34.40 persen, kontribusi pertumbuhan tenaga kerja 30.66 persen, dan kontribusi pertumbuhan kapital sebesar 34.94 persen. Pada fase deregulasi dan debirokratisasi (1989-1996) terlihat bahwa kontribusi pertumbuhan kapital mulai menunjukkan dominasinya, dengan kontribusi sebesar 65.41 persen, dan diikuti oleh kontribusi perkembangan teknologi (24.08 persen) dan kontribusi pertumbuhan tenaga kerja (10.51 persen). Pada fase krisis multidimensi (1997-2001) terlihat kontribusi perkembangan teknologi meningkat menjadi 29.87 persen, sedangkan kontribusi pertumbuhan tenaga kerja menurun drastis menjadi 4.45 persen, dan kontribusi pertumbuhan kapital masih yang tertinggi sebesar 65.68 persen. Pada fase kebangkitan ekonomi (2002-2007) terlihat bahwa kontribusi perkembangan teknologi masih terus menunjukkan peningkatan, tercatat sebesar 40.83 persen, sebaliknya kontribusi pertumbuhan kapital mengalami penurunan menjadi sebesar 53.09 persen, dan kontribusi pertumbuhan tenaga kerja tetap masih rendah yaitu sebesar 6.08 persen. Di lima tahun terakhir, fase krisis keuangan eropa (2008- 2012), kontribusi perkembangan teknologi menurun tajam, yang hanya memberikan kontribusi sebesar 22.61 persen. Sebaliknya, pertumbuhan kapital menunjukkan dominasinya dengan memberikan kontribusi sebesar 69.10 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi pertumbuhan tenaga kerja masih yang terendah dengan kontribusi sebesar 8.29 persen.
Perbandingan besaran perkembangan teknologi selama periode tahun 1980- 2000 beberapa negara di Asia ditunjukkan pada tabel 6. Selama kurun waktu tahun 1980-2000, perkembangan teknologi yang cukup tinggi ditunjukkan oleh negara India (2.08 persen), disusul China (1.85 persen), Korea (1.82 persen), dan Jepang (1.78 persen). Keempat negara tersebut dijuluki sebagai macan asia pada era sekarang, sedangkan Indonesia yang juga sempat dijuluki sebagai macan asia pada era 90-an hanya berada di bawah Malaysia. Besaran perkembangan teknologi Malaysia tercatat sebesar 1.29 persen, di atas Indonesia yang hanya sebesar 0.87 persen. Perlambatan justru ditunjukkan oleh negara Philipina, yang melambat sebesar 0.37 persen. Laporan Asian Productivity Organization (APO) menyebutkan bahwa perkembangan teknologi yang negatif lebih dikarenakan adanya pergerakan modal terhadap sektor nontradable serta melonjaknya arus modal asing yang juga diperparah apresiasi mata uang lokal berkepanjangan. Selain itu juga disebabkan dampak dari berbagai reformasi kebijakan ekonomi, kualitas pendidikan dan ketrampilan yang menurun dari waktu ke waktu, serta efisiensi pendidikan yang memburuk. Philipina memiliki salah satu angka tertinggi lulusan perguruan tinggi di daerah, akan tetapi juga memiliki paling sedikit lulusan yang mengkhususkan diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya jumlah penduduk Philipina yang bekerja di luar negeri (brain drain) menyebabkan kerugian produktivitas dalam perekonomian domestik. Kontribusi perkembangan teknologi negara Jepang mendominasi pertumbuhan ekonomi negara tersebut dengan persentase sebesar 94 persen. Kontribusi tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan negaranegara di Asia lainnya. Perkembangan teknologi India juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonominya yaitu sebesar 40.80 persen. Di Indonesia, perkembangan teknologi mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi sebesar 30.48 persen atau hampir sepertiganya. Tabel 7 memperlihatkan perbadingan besaran perkembangan teknologi Indonesia dengan negara-negara di Eropa dan juga dengan Amerika Serikat selama dua periode waktu. Perkembangan teknologi di negara-negara Eropa khususnya negara maju dan Amerika pada dua periode waktu yang berbeda, tahun 1994-2005 dan 2000-2005, menunjukkan bahwa besaran perkembangan teknologi pertumbuhannya cukup stabil. Sangat berbeda dengan di Indonesia yang pertumbuhan dari perkembangan teknologi cukup berfluktuasi. Perkembangan teknologi di negara-negara maju cukup tinggi dan stabil karena dilandasi akar dan kemandirian yang kuat, serta adanya modal atau investasi yang besar dalam pelaksanaan riset pengembangan dan penemuan teknologi-teknologi baru khususnya bidang industri. Selain itu, dukungan dari pemerintah juga cukup berperan, baik dalam penetapan kebijakan-kebijakan maupun pengandaan pelatihan-pelatihan kerja. Kasus di negara-negara berkembang seperti di Indonesia adalah masih rendahnya modal dan investasi, pendidikan dan skill pekerja yang masih rendah, serta kurangnya dukungan dari pemerintah.

Dampak Perkembangan Teknologi Terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia Tahun 1981-2012 
Analisis regresi linear berganda dilakukan untuk mengidentifikasi besarnya pengaruh perkembangan teknologi dan variabel kontrol lainnya terhadap kinerja perekonomian di Indonesia. Kinerja perekonomian yang diukur adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan kemiskinan.

Dampak Perkembangan Teknologi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi 
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa dari satu periode ke periode selanjutnya akan terus meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal. Teknologi yang digunakan menjadi berkembang.
Perkembangan teknologi memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien perkembangan teknologi dalam model yang sebesar 0.484530 (Tabel 8). Artinya setiap peningkatan perkembangan teknologi sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5 persen, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Tjahjono dan Anugrah (2007) bahwa perkembangan teknologi dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Teknologi telah memegang peranan penting dalam efisiensi produksi output. Perkembangan teknologi ini disebut sebagai efisiensi tenaga kerja yang menggambarkan kondisi pengetahuan masyarakat tentang metode-metode produksi sehingga saat teknologi berkembang maka tingkat efisiensi tenaga kerja juga akan naik. Kuznets (1966) mengemukakan bahwa ciri proses pertumbuhan ekonomi di negara maju salah satunya adalah tingkat kenaikan perkembangan teknologi yang tinggi. Peningkatan teknologi yang dalam hal ini adalah total factor productivity dapat bersumber dari adanya pengembangan sumberdaya manusia, research and development, ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum dan peraturan, stabilitas politik, kebijakan pemerintah (tercermin dari pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan sebagainya. Perkembangan teknologi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dari waktu ke waktu. Adanya perkembangan teknologi dapat meningkatkan output secara langsung melalui fungsi produksi dengan sejumlah kapital dan tenaga kerja tertentu. Perkembangan teknologi juga memungkinkan suatu negara untuk menunjang stok kapital yang lebih besar yang pada gilirannya tingkat output menjadi lebih tinggi. Selain perkembangan teknologi, variabel kapital per tenaga kerja juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Variabel rasio kapital per tenaga 41 kerja dapat digunakan untuk melihat pengaruh modal dan tenaga kerja terhadap output. Semakin meningkat rasio kapital per tenaga kerja maka pertumbuhan ekonomi akan semakin tinggi. Nilai koefisien regresi kapital per tenaga kerja sebesar 0.452 berarti bahwa setiap peningkatan rasio kapital per tenaga kerja sebesar 1 persen maka akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,452 persen. Hasil ini juga mengimplikasikan bahwa peningkatan kapital harus lebih besar atau sama dengan peningkatan tenaga kerja agar dapat mendorong laju pertumbuhan output. Pemanfaatan faktor kapital dan tenaga kerja secara efisien dengan mengurangi pemborosan dalam penggunaanya dapat mendorong laju perekonomian. Tenaga kerja Indonesia yang melimpah dan sebagian besar berada pada usia produktif akan menarik investor asing untuk menanamkan investasinya, tetapi bagaimanapun juga kemampuan tenaga kerja tersebut harus ditingkatkan kualitasnya terutama dalam menghadapi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Saat Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku, akan diterapkan liberalisasi tenaga kerja profesional seperti dokter, insinyur, akuntan, dan sebagainya; sedangkan tenaga kerja kasar tidak termasuk dalam program liberalisasi tersebut. Tenaga kerja yang besar dalam segi kuantitas tidak saja cukup dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi, tetapi yang tidak kalah penting adalah dari sudut kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal, dan dapat diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. Tenaga kerja dengam skills yang tinggi, kapital yang besar dan produktif, serta ditunjang pemanfaatan teknologi yang terus berkembang akan dapat meningkatkan pertumbuhan output ke tingkat yang jauh lebih tinggi. Dampak Perkembangan Teknologi Terhadap Pengangguran Teknologi pada era globalisasi seperti sekarang ini sulit untuk dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu pekerjaan atau proses produksi akan lebih cepat selesai, akurat, dan efisien dengan menggunakan teknologi. Biaya produksi menjadi berkurang karena lebih efisien dalam pengerjaan.
Perkembangan teknologi akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Tingginya pertumbuhan ekonomi diharapkan menurunkan pengangguran ke tingkat yang lebih rendah. Seperti diringkas "hukum Okun" dalam Dornbush (1991) yang menunjukkan hubungan antara perubahan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan tingkat pengangguran yaitu bahwa kenaikan 42 1 persen pada tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.3 persen. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa perkembangan teknologi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran. Setiap peningkatan perkembangan teknologi sebesar satu persen akan meningkatkan pengangguran sebesar 0.11 persen, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan. Hasil pengujian model regresi menunjukkan bahwa di Indonesia adanya perkembangan teknologi akan meningkatkan tingkat pengangguran. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap kemajuan teknologi memiliki kecenderungan untuk mengurangi pemakaian faktor-faktor produksi lainnya dalam suatu proses produksi pada tingkat output berapapun. Penggunaan teknologi akan mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Menurut Hicks dalam Salvatore (1997), kemajuan teknologi dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama yaitu: (i) kemajuan teknologi yang cenderung menghemat tenaga kerja (labor-saving technical progress); (ii) kemajuan teknologi yang menghemat modal (capital-saving technical progress); dan (iii) kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technical progress). Perkembangan teknologi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan termasuk kedalam klasifikasi pertama yaitu kemajuan teknologi yang cenderung menghemat tenaga kerja. Peningkatan laju perubahan teknologi dapat memiliki efek samping yang mendalam di pasar tenaga kerja. Hal ini dapat meningkatkan tingkat dan durasi rata-rata pengangguran. Perusahaan tidak dapat mempertimbangkan biaya-efektif untuk melatih beberapa jenis pekerja dalam rangka mengikuti perubahan, terutama karyawan yang kurang berpendidikan dan lebih tua. Para pekerja mungkin akan menjadi pengangguran untuk jangka waktu yang lama, dan beberapa dari mereka mungkin tidak akan pernah bekerja lagi. Salah satu contoh penerapan dan pemanfaatan teknologi adalah sektor industri. Sebelum sektor industri memanfaatkan dan menerapkan teknologi, banyak tenaga manusia yang dibutuhkan. Setelah memanfaatkan dan menerapkan teknologi dalam kegiatan industri, perusahaan lebih banyak menggunakan mesinmesin canggih daripada tenaga manusia. Maka terjadi PHK besar-besaran, akibatnya banyak pengangguran, dari banyaknya pengangguran akan timbul masalah kemiskinan. Hampir semua jenis hasil perkembangan teknologi dapat meningkatkan permintaan tenaga kerja di beberapa pasar tenaga kerja (jobs creation) dan menurunkan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja lainnya (jobs destruction). Pengenalan proses manufaktur otomatis telah mengakibatkan penurunan permintaan terhadap tenaga kerja terampil dan di lain sisi meningkatkan permintaan untuk kontrol kualitas teknisi dan programmer komputer. Secara umum, perubahan teknologi akan merubah komposisi permintaan tenaga kerja, meningkatkan permintaan untuk beberapa jenis tenaga kerja dan mengurangi permintaan untuk jenis lain tenaga kerja. Apa yang terjadi di Indonesia adalah jobs destruction lebih besar daripada jobs creation. Hasil penelitian ini sejalan dengan Michelacci dan Lopez (2006) yang menyimpulkan bahwa perkembangan teknologi meningkatkan job destruction dan job reallocation serta menurunkan pasar tenaga. Gabriela (2005) juga menyimpulkan bahwa perkembangan teknologi justru menurunkan tenaga kerja yang ada karena adanya perkembangan teknologi justru memberikan shock yang 43 cepat pada job destruction daripada penciptaan lapangan kerja pada teknologi baru. Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukan bahwa adanya campur tangan langsung secara berlebihan, terutama berupa peraturan pemerintah yang terlampau ketat, dalam pasar teknologi asing justru menghambat arus teknologi asing ke negara-negara berkembang. Kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri dalam negeri tidak hanya akan menghambat perkembangan teknologi tetapi juga membuat jadi semakin jauh tertinggal berada di bayangbayang negara maju. Dampak lainnya adalah struktur pekerjaan yang ada hanya akan diisi oleh pekerja dengan skill tinggi atau justru diisi oleh pekerja asing. Selain dukungan dari pemerintah, adanya perkembangan teknologi juga harus disertai dengan inovasi-inovasi baru. Kemajuan teknologi pertanian dengan mekanisasi pertanian menyebabkan proses produksi menjadi lebih efisien, output dan produktivitas yang dihasilkan jauh meningkat. Akan tetapi jika tidak disertai dengan inovasi produk-produk pertanian baru maka justru akan menimbulkan pengangguran. Inovasi produk pertanian disamping akan meningkatkan nilai jual output juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Pada kenyataannya inovasi berkaitan dengan pertimbangan produk dan proses. Dalam kaitan ini product innovation mengacu pada penciptaan desain produk dan aplikasi teknologi yang dimaksudkan untuk mengembangkan produk baru. Inovasi produk berkaitan dengan strategi diferensiasi yang dilakukan oleh perusahaan baik melalui fitur produk ataupun perluasan produk, sedangkan inovasi proses berkaitan dengan perbaikan proses produksi yang efisien. Dengan adanya teknologi maka perusahaan selalu dapat melakukan perbaikan proses melalui pemanfaatan material, siklus yang lebih pendek, dan strategi untuk menghadapi permintaan. Oleh karena itu agar perkembangan teknologi tidak berdampak negatif pada tenaga kerja, maka diperlukan peran aktif pemerintah. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung perkembangan teknologi dalam negeri. Contoh kongkritnya, pemerintah harus mengurangi ketergantungan pada input impor dengan melakukan inovasi-inovasi baru untuk dapat memanfaatkan sumber daya dalam negeri. Selain itu pemerintah juga harus mengalokasikan lebih banyak sumber daya yang ada untuk mengembangkan riset dan pengembangan (Research and Development) yang diiringi dengan pelatihan-pelatihan pekerja. Upah riil juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pengangguran di Indonesia selain perkembangan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien upah riil dalam model yang sebesar 2.5939. Artinya setiap peningkatan upah riil sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pengangguran sebesar 2.5939 persen, atau dengan pengertian lain peningkatan upah riil sebesar seratus ribu rupiah akan meningkatkan pengangguran sebesar 0.26 persen, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan. Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, ketenagakerjaan merupakan masalah yang rumit dan lebih serius termasuk masalah upah pekerja. Upah bagi pekerja merupakan pendapatan, sedangkan bagi perusahaan merupakan suatu beban (biaya), sehingga wajar saja jika pekerja menghendaki upah yang tinggi, melalui serikat pekerja mereka dapat menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan. Sedangkan perusahaan akan menekan beban (biaya) produksi serendah-rendahnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa 44 pemerintah harus berhati-hati dalam memilih dan menerapkan bentuk-bentuk kebijakan berkaitan penetapan upah minimum. Kenaikan upah minimum yang cepat di Indonesia telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggunakan lebih banyak mesin (pemanfaatan teknologi) dan tenaga kerja terampil dalam proses produksi. Hal ini menyebabkan pengangguran bagi tenaga kerja tidak terampil, khususnya pekerja perempuan, usia muda, dan kurang terdidik. Adanya kenaikan upah minimum maka perusahaan akan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut ketrampilan. Keterkaitan antara modal dan keterampilan menyebabkan proporsi pekerja terdidik/terampil menjadi lebih tinggi yang menandakan adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal. Pemerintah harus dapat mengendalikan tuntutan kenaikan pendapatan pekerja untuk menghindari kenaikan biaya produksi yang berlebihan. Jika tingkat upah sesuai dengan mekanisme pasar maka investor akan meningkatkan outputnya karena turunnya biaya produksi termasuk biaya faktor produksi tenaga kerja. Hal ini akan berdampak meningkatnya aggregat supply yang secara perlahan akan mereduksi pengangguran sehingga perekonomian dapat mendekati kondisi full employment (tingkat pengangguran kurang dari 4 persen). Namun pada saat kesejahteraan pekerja masih rendah, kebijakan seperti ini juga kurang efektif. Hal yang lebih realistis dilakukan adalah dengan menetapkan upah minimum sewajarnya yang diikuti dengan peningkatan skill pekerja agar produktivitasnya meningkat sebanding dengan kenaikan upah minimum. Dampak Perkembangan Teknologi Terhadap Kemiskinan Masalah kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan suatu negara tetapi sudah menjadi masalah global serta merupakan salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Jamkeskin), Program Perlindungan Sosial (PPLS), dan lain-lain. Kebijakan ini merupakan strategi pemerintah agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagian bisa dinikmati oleh penduduk miskin (Pro-Poor Growth).Kaitannya dengan perkembangan teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu menuntut adanya sumber daya manusianya (SDM) yang tinggi. 45 Masalah kemiskinan di Indonesia erat sekali hubungannya dengan rendahnya sumber daya manusia. Adanya perkembangan teknologi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran. Jika pengangguran dapat ditekan maka angka kemiskinan juga akan menjadi turun. Berdasarkan model regresi terbaik yang didapat bahwa adanya perkembangan teknologi tidak berdampak secara signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi dan upah riil selain faktor-faktor lain di luar model. Hasil penelitian ini sejalan dengan Quibria dan Tschang (2001) bahwa perkembangan teknologi berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap kemiskinan secara tidak langsung. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dapat dilihat dari nilai koefisien parameternya yang sebesar -0.0298. Hal ini berarti bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0.0298 persen dengan asumsi pengaruh variabel lain konstan. Pengaruh pertumbuhan dengan kemiskinan ini dikenal melalui proses trickle down effect yaitu pertumbuhan ekonomi diyakini akan memperluas penciptaan lapangan kerja, membuka peluang-peluang ekonomi dan menumbuhkan kondisi yang menyebabkan pemerataan distribusi hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial, sehingga pada akhirnya pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi. Selain pertumbuhan ekonomi, upah riil juga merupakan variabel yang signifikan mempengaruhi kemiskinan. Adanya peningkatan upah riil dapat menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Peningkatan upah riil berarti terdapat peningkatan daya beli riil yang dialami oleh para pekerja di Indonesia dengan upah minimum yang lebih tinggi daripada batas garis kemiskinan. Rumahtangga memerlukan penghasilan yang cukup guna memenuhi kebutuhan dasar seperti: pangan, papan, sandang, serta pendidikan.

SIMPULAN DAN SARAN 

Simpulan 1. Hasil estimasi Total Factor Productivity menunjukkan bahwa selama rentang waktu tahun 1981-2012, rata-rata perkembangan teknologi di Indonesia adalah sebesar 0.87 persen per tahun. 2. Perkembangan teknologi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 30.48 persen. Perkembangan teknologi menempati urutan kedua penyumbang pertumbuhan ekonomi di Indonesia setelah pertumbuhan kapital. 3. Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap kinerja perekonomian di Indonesia yang diukur melalui pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Adanya perkembangan teknologi cukup signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia, akan tetapi di lain sisi justru merubah komposisi tenaga kerja dan meningkatkan pengangguran. Walaupun perkembangan teknologi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan, namun perlu diwaspadai bahwa kemajuan teknologi dapat memperparah kemiskinan di Indonesia jika tidak disertai skill dan sumber daya manusia penduduknya.
Saran Hasil penelitian yang telah dikemukakan diharapkan dapat membuka mata pemerintah tentang arti pentingnya perkembangan teknologi pada era globalisasi dan keterbukaan ekonomi. Oleh sebab itu, perlu ada tindakan nyata dari pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang beorientasi pengembangan teknologi dalam negeri guna meningkatkan produktivitas, antara lain: 1. Pemerintah harus berperan aktif dalam pengembangan teknologi agar tidak jauh tertinggal dengan negara-negara maju. Modal dan investasi yang besar sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan riset pengembangan dan penemuan teknologi atau inovasi baru. Tidak sebatas itu, kerjasama dengan perusahaan multinasional juga sangat dibutuhkan. 2. Mengurangi ketergantungan pada input impor dengan melakukan inovasiinovasi baru untuk dapat memanfaatkan sumber daya dalam negeri. 3. Angkatan kerja Indonesia yang melimpah namun produktivitasnya kurang memerlukan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas tenaga kerja. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan mutu pendidikan formal sebelum memasuki jenjang pekerjaan, meningkatkan mutu SDM dan skills melalui kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan pekerja (jobs training). 4. Perkembangan teknologi akan berbeda di masing-masing sektor ekonomi. Oleh karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk membagi menjadi sektor-sektor ekonomi, sehingga kebijakan yang diambil akan menjadi tepat.





<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-7970875250577504"
     crossorigin="anonymous"></script>
Read More ->>